PEMAHANAN
KEMISKINAN
1.
Latar Belakang
Kemiskinan pada dasarnya bukan
hanya permasalahan ekonomi tetapi lebih bersifat multidimensional dengan akar
permasalahan terletak pada sistem ekonomi dan politik bangsa yang bersangkutan.
Dimana masyarakat menjadi miskin oleh sebab adanya kebijakan ekonomi dan
politik yang kurang menguntungkan mereka, sehingga mereka tidak memiliki akses
yang memadaikan ke sumber daya-sumber daya kunci yang dibutuhkan untuk
menyelenggarakan hidup mereka secara layak.
Akibatnya mereka terpaksa hidup di
bawah standar yang tidak dapat lagi dinilai manusiawi, baik dari aspek ekonomi,
aspek pemenuhan kebutuhan fisik, aspek sosial, dan secara politikpun mereka
tidak memiliki sarana untuk ikut dalam pengambilan keputusan penting yang
menyangkut hidup mereka. Proses ini berlangsung timbal balik saling terkait dan
saling mengunci dan akhirnya secara akumulatif memperlemah masyarakat miskin.
Situasi
ini bila tidak segera ditanggulangi akan memperparah kondisi masyarakat miskin
yang ditandai dengan lemahnya etos kerja, rendahnya daya perlawanan terhadap
berbagai persoalan hidup yang dihadapi, kebiasaan-kebiasaan buruk yang terpaksa
mereka lakukan dalam rangka jalan pintas mempertahankan hidup mereka yang bila
berlarut akan melahirkan budaya kemiskinan yang sulit diberantas.
Di sisi lain upaya-upaya penanggulangan
kemiskinan lebih banyak diarahkan hanya untuk meningkatkan penghasilan
masyarakat miskin melalui berbagai program ekonomi, seperti peningkatan penghasilan,
pemberian kredit lunak, dsb. Semua ini tidak dapat disangkal akan meningkatkan
penghasilan masyarakat miskin tetapi tidak serta merta menyelesaikan persoalan
kemiskinan.
Kesalahan mendasar yang saat ini terjadi adalah melihat kemiskinan
sebagai ketidak-mampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasarnya yang
disebabkan oleh rendahnya penghasilan (ekonomi) mereka, sehingga pemecahan yang
logis adalah dengan meningkatkan penghasilan. Peningkatan penghasilan disini
seolah-olah menjadi obat mujarab terhadap semua persoalan kemiskinan. Padahal
akar kemiskinan justru bukan pada penghasilan. Tinggi rendahnya penghasilan
seseorang erat kaitannya dengan berbagai peluang yang dapat diraihnya. Jadi
lebih merupakan akibat dari suatu situasi yang terjadi oleh sebab kebijakan
politik yang tidak adil yang diterapkan sehingga menyebabkan sebagian
masyarakat tersingkir dari sumberdaya kunci yang dibutuhkan dalam
menyelenggarakan hidup mereka secara layak.
2.
PENGERTIAN KEMISKINAN
Deepa Narayan, dkk dalam
bukunya Voices of the Poor menulis bahwa yang menyulitkan atau membuat
kemiskinan itu sulit ditangani adalah sifatnya yang tidak saja multidimensional
tetapi juga saling mengunci; dinamik, kompleks, sarat dengan sistem institusi
(konsensus sosial), gender dan peristiwa
yang khas per lokasi. Pola kemiskinan
sangat berbeda antar kelompok sosial, umur, budaya, lokasi dan negara juga
dalam konteks ekonomi yang berbeda.
Lebih lanjut mereka juga
memberikan 4 dimensi utama dari definisi kemiskinan yang dirumuskan oleh
masyarakat miskin sendiri, sebagai berikut di bawah ini.
a) Dimensi 1 : Dimensi
material kekurangan pangan, lapangan kerja dengan muaranya adalah kelaparan
atau kekurangan makan.
b) Dimensi 2 : Dimensi
psikologi, seperti antara lain ketidakberdayaan (powerlessness), tidak mampu
berpendapat (voicelessness), ketergantungan (dependency), rasa malu (shame),
rasa hina (humiliation)
c) Dimensi 3 : Dimensi
akses ke pelayanan prasarana yang praktis tidak dimiliki
d) Dimensi 4 : Dimensi
aset/milik, praktis tidak memiliki aset sebagai modal untuk menyelenggarakan
hidup mereka secara layak seperti antara lain :
· Kapital fisik
(physical capital), antara lain mencakup tanah, ternak, peralatan kerja,
hunian, perhiasan, dsb
· Kapital manusia
(human capital), antara lain menyangkut kesehatan, pendidikan dan pekerjaan.
Kesehatan yang buruk sering menghalangan orang untuk bekerja apalagi bila
pekerjaannya menuntut tenaga fisik yang sering ditemukan pada masyarakat yang
berada pada tingkat survival, begitu juga rendahnya pendidikan sangat menghambat
kemajuan seseorang.
· Aset sosial (social
capital), atau sering diartikan dalam hal ini sebagai sistem kekerabatan yang
mendukung kaum miskin untuk tetap bertahan hidup sebab pada umumnya kaum miskin
tidak masuk jaringan formal pengamanan sosial seperti asuransi yang mampu
melindungi mereka dari berbagai krisis seperti musibah, keuangan, dll
· Aset lingkungan
(environmental asset), antara lain mencakup iklim dan musim yang sangat
berpengaruh pada petani, nelayan dan sebagai pekerja lapangan.
Secara rinci ke empat aset tersebut dapat diuraikan sebagai berikut
ini.
Aset
fisik (physical capital);
a) Pada
dasarnya masyarakat miskin memang praktis tidak memiliki benda-benda fisik yang
diperlukan sebagai modal hidup mereka seperti antara lain tanah yang memadai,
rumah/tempat tinggal yang layak, perabotan rumah tangga, kendaraan, peralatan
kerja dan benda-benda fisik lainnya
b) Aset
kemanusiaan (human capital),
Pada
dasarnya masyarakat miskin juga tidak memiliki kwalitas sumber daya manusia
yang cukup baik yang dapat menjamin keberhasilan hidup mereka, mencakup tingkat
kesehatan, pendidikan, tenaga kerja, dsb belum lagi kwalitas manusia yang lain
seperti etos kerja yang ulet, jiwa kewirausahaan, kepemimpinan, dsb
c) Aset sosial (Social
capital)
Masyarakat miskin memang selalu tersisih dari pranata
sosial yang ada termasuk sistem asuransi sehingga mereka harus membangun
sendiri institusi mereka agar mendapatkan jaminan sosial (social security) yang
dibutuhkan untuk mempertahankan hidup mereka (survival) melalui kekerabatan antar
mereka, asosiasi penghuni, yang seringkali menjadi sangat kuat oleh sebab rasa
senasib sepenangungan, dsb.
d) Aset lingkungan
(environmental asset)
Pada umumnya masyarakat miskin di perkotaan memang kurang
atau malah tidak memiliki sumber-sumber lingkungan sebagai modal hidup mereka
seperti air baku, udara bersih, tanaman, lapangan hijau, pohon-pohon, dsb,
sementara para petani dan nelayan sangat tergantung kepada aset lingkungan
dalam bentuk musim dan iklim.
Lebih lanjut keempat dimensi
tersebut sangat dipengaruhi oleh konteks yang lebih luas yaitu tatanan ekonomi
makro dan sistem politik yang berlaku di negara tersebut.
Beberapa pendapat lain melihat
kemiskinan dari sudut pandang yang sangat berbeda dan menyimpulkan kemiskinan
sebagai berikut di bawah ini
· Kemiskinan absolut,
yaitu bila penghasilan seseorang di bawah garis kemiskinan absolut, yaitu suatu
ukuran tertentu yang telah ditetapkan dimana kebutuhan minimum masih dapat
dipenuhi, dengan kata lain penghasilannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum
yang ditetapkan dalam garis kemiskinan tersebut.
· Kemiskinan relatif,
yaitu suatu kondisi perbandingan antara kelompok penghasilan dalam masyarakat.
Dari pola waktunya kemiskinan
juga sering dibedakan sebagai berikut :
§ Kemiskinan menaun (persistent poverty), yaitu kemiskinan
yang kronis atau sudah lama terjadi, turun temurun, misalnya masyarakat di
lokasi-lokasi kritis atau terisolasi
§ Kemiskinan siklik (cyclical poverty), yaitu kemiskinan
yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan
§ Kemiskinan musiman (seasonal poverty), yaitu kemiskinan
yang terjadi secara khusus sesuai dengan musim seperti yang sering terjadi pada
nelayan atau petani tanaman pangan
§ Kemiskinan mendadak (accidental poverty), yaitu
kemiskinan yang terjadi oleh sebab bencana atau dampak oleh suatu kebijakan
yang tidak adil.
Meskipun berbagai pihak melihat
kemiskinan dari sudut pandangan yang berbeda dan merumuskan kemiskinan secara
berbeda pula tetapi semua pihak sepakat bahwa pada dasarnya kemiskinan
mengandung arti majemuk yang sering kali sulit untuk dipahami dari satu sudut
pandang saja.
Secara umum kemiskinan sering
kali diartikan sebagai keterbelakangan, ketidakberdayaan atau ketidakmampuan
seseorang untuk menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap
layak/manusiawi.
Dari berbagai pandangan
tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
keterbelakangan/ketidakberdayaan/ketidakmampuan ini mencakup beberapa dimensi
sebagai berikut :
Dimensi politik
Tinjauan dari aspek politik
ini, ketidakmampuan seseorang diterjemahkan dalam bentuk rendahnya tingkat
kemampuan berpartisipasi secara aktif dalam pengambilan keputusan politik yang
penting yang langsung menyangkut hidupnya, tidak dimilikinya sarana-sarana yang
memadai termasuk kelembagaan untuk terlibat secara langsung dalam proses
politik.
Akibatnya kaum miskin tidak memiliki akses ke berbagai sumberdaya
kunci yang dibutuhkannya untuk menyelenggarakan hidupnya secara layak. Termasuk
dalam hal ini adalah sumber daya financial dan sumberdaya alam.
Oleh sebab
tidak dimilikinya pranata sosial yang menjamin partisipasi masyarakat miskin
dalam proses pengambilan keputusan maka sering kali masyarakat miskin dianggap
tidak memiliki kekuatan politik sehingga menduduki struktur sosial yang paling
bawah, malah sering kali masyarakat miskin seringkali secara juridis tidak
diakui sebagai warga negara. Kemiskinan
politik sering kali disebut juga sebagai kemiskinan struktural.
Dimensi ekonomi
Tinjauan kemiskinan dari
dimensi ekonomi ini diartikan sebagai ketidak mampuan seseorang untuk mendapatkan
mata pencaharian yang mapan dan memberikan penghasilan yang layak untuk
menunjang hidupnya secara berkesinambungan yang terlihat dari rendahnya gizi
makanan, tingkat kesehatan yang rendah, tingkat pendidikan yang rendah, pakaian
yang tidak layak, dsb.
Pandangan ini banyak digunakan
oleh berbagai pihak untuk menetapkan garis kemiskinan.
Berbagai
lembaga memiliki ukuran masing-masing dalam menetapkan kemiskinan antara lain
sebagai berikut :
a) Prof Sayogyo
menggambarkan tingkat penghasilan dengan mengukur pengeluaran setara beras per
tahun untuk kategori :
· Miskin di perkotaan
480 kg dan di perdesaan 320 kg
· Miskin sekali di
perkotaan 360 kg dan diperdesaan 240 kg
· Paling miskin di
perkotaan 270 kg dan perdesaan 180 kg
b) BPS menggunakan
tingkat pengeluaran per kapita per hari untuk memenuhi kebutuhan pokok yang
dihitung sebagai kebutuhan kalori 2100 kalori per kapita per hari dan kebutuhan
dasar bukan makanan dan menetapkan pada tahun 1999 Rp 93.896/kapita/bulan di
perkotaan dan Rp 73.878/kapita/bulan di perdesaan.
Dimensi Aset
Tinjauan kemiskinan dari
dimensi aset ini dirumuskan sebagai ketidakmampuan seseorang yang diterjemahkan
sebagai rendahnya tingat penguasaan seseorang terhadap hal-hal yang mampu
menjadi modal dasar seseorang dalam memenuhi kebutuhan pokoknya (basic human
needs) seperti kapital manusia (pengetahuan, pendidikan, kesehatan, dsb),
kapital fisik (tanah, perumahan yang layak, peralatan kerja, sarana produksi,
kendaraan, dsb), kapital alam (udara, pohon, hewan, dsb), kapital sosial
(jaringan sosial, tradisi, dsb), kapital dana (tabungan, pinjaman, dsb).
Dimensi budaya dan psikologi
Dari dimensi budaya, kemiskinan
diterjemahkan sebagai terinternalisasikannya budaya kemiskinan baik di tingkat
komunitas, keluarga maupun individu.
Di tingkat komunitas dicirikan
dengan kurang terintegrasinya penduduk miskin dalam lembaga-lembaga formal
masyarakat, di tingkat keluarga dicirikan dengan singkatnya masa kanak-kanak,
longgarnya ikatan keluarga, dsb, sedangkan di tingkat individu terlihat seperti
antara lain sifat tidak percaya diri, rendah diri, kurang mau berpikir jangka
panjang oleh sebab kegagalan-kegagalan yang sering dihadapinya, fatalisme,
apatis, tidak berdaya, ketergantungan yang tinggi, dsb.
Semua dimensi tersebut diatas
bagi masyarakat miskin memiliki tingkat kerentanan yang tinggi karena sifatnya
yang tidak mantap, seperti misalnya dimensi ekonomi bagi masyarakat miskin akan
sangat berbeda dengan masyarakat kaya karena kebanyakan masyarakat miskin dan
masyarakat yang sedikit di atas garis kemiskinan memiliki mata pencaharian yang
sangat labil sehingga guncangan sedikit saja (krisis) akan menyebabkan mereka
terpuruk.
*) Penulisan diatas merupakan pemahaman dasar oleh Bapak Parwoto
Pedoman Umum P2KP
*) Penulisan diatas merupakan pemahaman dasar oleh Bapak Parwoto
Pedoman Umum P2KP
No comments:
Post a Comment